EPISTEMOLOGI
Secara
etimologi, epistemologi merupakan kata gabung dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos
lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Epistemologi
dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Selain itu
epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang
pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan
logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya,
seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan
kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan
suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai
kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak
benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili,
memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak
benar memang agak dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif
intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara
memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.
Pranarka
menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika
orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan
bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan
hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan
kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan
kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai
basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan
perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu
terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih
pragmatis dan ideologis.
Pada
zaman dahulu masyarakat primitif, pembedaan antara berbagai organisasi
kemasyarakatan belum tampak, yang di akibatkan belum adanya pembagian
pekerjaan. Seorang ketua suku, umpamanya, bias merangkap berbagai pekerjaan
contonya hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru besar / tukang
tenung. Jadi sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan
maka status itu akan tetap, kemanapun kita pergi, sebab organisasi pada masa
itu hakekatnya hanya satu.
Jadi
kriteria yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam
kesatuan, tidak ada jarak antara satu objek dengan objek yg lain. Konsep dasar
ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran
(The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17.
Pohon
pengetahuan mulai di bedakan berdasarkan apa yang di ketahui , bagaimana cara
mengetahui, dan untuk apa pengetahuan itu di pergunakan. Cabang pengetahuan
berkembang menurut jalannya sendiri (ilmu berbeda dengan pengetahuan lain
terutama dari segi metodenya). Metode ilmu berbeda dengan ngelmu yang merupakan
paradima. Paradima bukan ilmu melainkan sarana berfikir yaitu konsep dasar yang
dianut oleh masyarakat tertentu termasuk ilmuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar