AWAL
BERKEMBANGNYA HUKUM ADAT DI ACEH
Sejarah Hukum Adat di Aceh
Sejarah
dimulainya perilaku adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh
Darussalam. Masuknya agama Islam ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 – 1530 M juga sangat mempengaruhi
proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran agama Islam pada masa itu berkembang
luas dan cepat karena agama Islam sangat cocok dengan karakteristik masyarakat
Aceh. Maka atas hasil mufakat pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu
sistem hukum adat yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam.
Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib karena adanya kerjasama yang
solid antara pemerintah, lembaga adat dan masyarakat.
Ketika
Sultan Iskandar Muda memimpin kerajaan rentang tahun 1607 – 1636 M, Aceh
mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Salah
satunya termasuk aspek penataan hukum adat. Hukum adat Aceh sangat dikenal di
seluruh dunia, menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan adat Aceh
masyhur ke seluruh negeri :
a. Hubungan diplomatis yang sangat erat
dengan pemerintah Turki. Hasil dari hubungan bilateral ini Sultan sering
berbagi pengalaman tentang kondisi kemajuan di Aceh, termasuk adat-istiadatnya.
b. Luasnya daerah yang berhasil
ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang berhasil ditaklukkan sebagian besar
adalah daerah-daerah Melayu. Misi Sultan adalah menyebarluaskan agama Islam dan
juga memperkenalkan adat-istiadat Aceh. Secara tidak langsung, daerah yang
berhasil ditaklukkan harus mengikuti aturan Kerajaan Aceh.
Kepiawaian
Sultan Iskandar Muda juga tergambar jelas ketika berhasil mempersatukan
beberapa suku yang masih menganut adat budaya masing-masing menjadi adat
nasional (hukum adat yang dikendalikan oleh kerajaan).
Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin,
di Aceh tersebar empat suku besar, yaitu :
1.
Suku
Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang
berasal dari orang-orang mante dan Karo/Batak
2.
Suku
Imuem Peut (Imam Empat), yang berasal
dari orang-orang Hindu
3.
Suku
Tok Batee, kaum asing yang berasal
dari Arab, Parsi, Turki, dan Hindi yang sudah lama menetap di Aceh
4.
Suku
Ja Sandang, yaitu kaum Hindu, tukang tuak yang pertama sekali datang ke
Lampanaih.
Keempat
suku ini saling mengklaim bahwa budaya mereka adalah yang terbaik di antara
suku-suku lain. Sultan-sultan sebelumnya sangat sulit mempersatukan
keanekaragaman adat masing-masing suku. Masa ini dalam sejarah juga sering
disebut adat plakpleung yaitu adat
yang beranekaragam. Kejadian ini hampir sama seperti negara Indonesia yang
terdiri dari ratusan suku. Kemudian oleh pemerintah suku-suku tersebut
dipersatukan dalam satu wadah dan satu bahasa sebagaimana yang tersurat dalam
Sumpah Palapa.
Kemudian
atas beberapa nasehat dari mufti kerajaan dan ahli-ahli agama, maka Sultan
telah dapat menyatukan suku-suku yang berbeda tersebut dalam satu wadah
pemerintahan. Sehingga muncullah hadih
maja yang masih dikenal sampai sekarang, yaitu : adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe
Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lage zat ngon sifeut.
Adapun
penjelasannya dari istilah di atas, yaitu :
· Sultan Imam Malikul Adil sebagai
kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan politik dan adat negeri, atau
pemegang kekuasaan eksekutif
· Qadli Malikul Adil (ulama) sebagai
ketua mahkamah agung adalah pemegang kekuasaan hukum (yudikatif)
· Rakyat adalah pemegang kekuasaan
pembuatan undang-undang (legislatif) yang dalam hadih maja ini dilambangkan
sebagai Putroe Phang, yaitu Puteri Pahang (permaisuri Sultan Iskandar Muda)
yang mempelopori pembentukan Majelis Mahkamah Musyawarah Rakyat
· Pada
waktu negara dalam keadaan bahaya/perang, pemegang segala kekuasaan
dalam negara adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang, yang dalam istilah hadih maja ini disebut sebagai
Laksamana, yaitu Wazirul Harb.
Walaupun
pembagian kekuasaan seperti tersebut di atas, ada satu ketentuan lain yang
tidak boleh menyimpang satu sama lain. Sesuai dengan hadih majanya hukom ngon adat
lage zat ngon sifeut. Maksudnya adat dengan hukum adalah seperti zat dengan
sifat, menjadi satu dan tidak boleh dipisahkan. Sehingga antara pemegang
kekuasaan adat dan politik (Sultan Imam Malikul Adil) dengan pemegang kekuasaan
hukum (Qadli Malikul Adil) haruslah bekerjasama.
Hadih maja di atas menjadi sebuah filsafat hidup
rakyat Aceh yang harus dijalankan secara menyeluruh. Adanya pembagian kekuasaan
yang merata dan sumber pegangan masyarakat telah menjadikan hadih maja ini sakral bagi masyarakat.
Pengertian hadih maja ini sebagai
falsafah hidup rakyat Aceh berarti:
1. Segala cabang kehidupan negara dan
rakyat haruslah berjiwa dan bersendi Islam
2. Wajah politik dan wajah agama Islam
pada batang tubuh masyarakat dan negara Aceh telah menjadi satu
3. Sifat gotong-royong yang menjadi ciri
khas Islam menjadi landasan berpijak bagi rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh
Darussalam
Kemudian
maksud hukom dalam hadih maja tersebut yaitu hukum Islam,
karena Undang-undang Dasar Aceh yang bernama Qanun Adat Meukuta Alam menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam
Kerajaan Aceh Darussalam adalah Hukum Islam dengan sumber hukumnya Al-Qur’an,
Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Nyatalah bahwa hadih maja tersebut adalah falsafah kehidupan rakyat Aceh dan
Kerajaan Aceh Darussalam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan Hidup (way of life) dari rakyat Aceh.
Berpegang
pada prinsip di atas, maka kerajaan juga membuat kategori adat itu pada tiga
hal, yaitu :
1. ‘Adatulllah, yaitu hukum dari Allah
2. Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun
oleh majelis kerajaaan. Contoh adat ini seperti adat blang, adat laot, adat gle, adat peukan, adat kuala, adat seuneubok, dan sebagainya.
3. Adat tunaih, adat ini berlaku di masing-masing daerah. Biasanya disusun
secara musyawarah oleh Panglima Sagoe,
Uleebalang, dan utusan masyarakat
untuk menunjang hukum dan adat raja (adat mahkamah).
Selain tiga jenis adat di atas, ada
beberapa ketentuan hukum dan adat yang tidak dapat diberikan keputusan oleh
majelis ulama dan uleebalang,
masyarakat boleh meminta ketetapan hukum dan adat pada Pengadilan Tinggi
Syaikhul Islam dan Majelis Tinggi yang diketuai oleh Sri Baginda sendiri dan
ditempatkan di Balai Baiturrahman.
Lancarnya
kehidupan adat di Aceh didukung oleh kepemimpinan Sultan yang adil bijaksana,
rakyat Aceh senantiasa hidup tenteram, damai, dan makmur sejahtera. Hampir
jarang didengar adanya kesenjangan sosial sesama masyarakat. Rakyat mematuhi
pimpinannya, karena mereka bekerja untuk kepentingan umum dan berlaku adil
sesuai ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh. Kuatnya posisi hukum dan adat telah
menjadi contoh bangsa lain untuk berguru pada Kerajaan Aceh Darussalam. Malah
beberapa bangsa Melayu mencontoh bentuk ini untuk diterapkan kepada
masyarakatnya, seperti Brunei, Pattani, dan Malaya.
Awal
munculnya implementasi hukum adat di Aceh berdasarkan rancangan yang dibentuk
oleh pemerintah dengan mempertimbangkan faktor kondisi psikologis orang Aceh.
Ketetapan hukum adat ini seharusnya berlangsung hingga pemerintah berikutnya
berkuasa. Namun tidak halnya yang terjadi pada pemerintahan daerah sekarang,
yang seakan-akan menafikan hukum adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar