Pages

Jumat, 24 Mei 2013

Hukum Adat Aceh


AWAL BERKEMBANGNYA HUKUM ADAT DI ACEH

Sejarah Hukum Adat di Aceh

Sejarah dimulainya perilaku adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam. Masuknya agama Islam ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 – 1530 M juga sangat mempengaruhi proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran agama Islam pada masa itu berkembang luas dan cepat karena agama Islam sangat cocok dengan karakteristik masyarakat Aceh. Maka atas hasil mufakat pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem hukum adat yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam. Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib karena adanya kerjasama yang solid antara pemerintah, lembaga adat dan masyarakat.

Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin kerajaan rentang tahun 1607 – 1636 M, Aceh mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya termasuk aspek penataan hukum adat. Hukum adat Aceh sangat dikenal di seluruh dunia, menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan adat Aceh masyhur ke seluruh negeri :

a.  Hubungan diplomatis yang sangat erat dengan pemerintah Turki. Hasil dari hubungan bilateral ini Sultan sering berbagi pengalaman tentang kondisi kemajuan di Aceh, termasuk adat-istiadatnya.

b.  Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang berhasil ditaklukkan sebagian besar adalah daerah-daerah Melayu. Misi Sultan adalah menyebarluaskan agama Islam dan juga memperkenalkan adat-istiadat Aceh. Secara tidak langsung, daerah yang berhasil ditaklukkan harus mengikuti aturan Kerajaan Aceh.

Kepiawaian Sultan Iskandar Muda juga tergambar jelas ketika berhasil mempersatukan beberapa suku yang masih menganut adat budaya masing-masing menjadi adat nasional (hukum adat yang dikendalikan oleh kerajaan).

          Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin, di Aceh tersebar empat suku besar, yaitu :

1.     Suku Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang berasal dari orang-orang mante dan Karo/Batak

2.    Suku Imuem Peut (Imam Empat), yang berasal dari orang-orang Hindu

3.    Suku Tok Batee, kaum asing yang berasal dari Arab, Parsi, Turki, dan Hindi yang sudah lama menetap di Aceh

4.    Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu, tukang tuak yang pertama sekali datang ke Lampanaih.

Keempat suku ini saling mengklaim bahwa budaya mereka adalah yang terbaik di antara suku-suku lain. Sultan-sultan sebelumnya sangat sulit mempersatukan keanekaragaman adat masing-masing suku. Masa ini dalam sejarah juga sering disebut adat plakpleung yaitu adat yang beranekaragam. Kejadian ini hampir sama seperti negara Indonesia yang terdiri dari ratusan suku. Kemudian oleh pemerintah suku-suku tersebut dipersatukan dalam satu wadah dan satu bahasa sebagaimana yang tersurat dalam Sumpah Palapa.

Kemudian atas beberapa nasehat dari mufti kerajaan dan ahli-ahli agama, maka Sultan telah dapat menyatukan suku-suku yang berbeda tersebut dalam satu wadah pemerintahan. Sehingga muncullah hadih maja yang masih dikenal sampai sekarang, yaitu : adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lage zat ngon sifeut.

Adapun penjelasannya dari istilah di atas, yaitu :

·      Sultan Imam Malikul Adil sebagai kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan politik dan adat negeri, atau pemegang kekuasaan eksekutif

·      Qadli Malikul Adil (ulama) sebagai ketua mahkamah agung adalah pemegang kekuasaan hukum (yudikatif)

·      Rakyat adalah pemegang kekuasaan pembuatan undang-undang (legislatif) yang dalam hadih maja ini dilambangkan sebagai Putroe Phang, yaitu Puteri Pahang (permaisuri Sultan Iskandar Muda) yang mempelopori pembentukan Majelis Mahkamah Musyawarah Rakyat

·      Pada  waktu negara dalam keadaan bahaya/perang, pemegang segala kekuasaan dalam negara adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang, yang dalam istilah hadih maja ini disebut sebagai Laksamana, yaitu Wazirul Harb.

Walaupun pembagian kekuasaan seperti tersebut di atas, ada satu ketentuan lain yang tidak boleh menyimpang satu sama lain. Sesuai dengan hadih majanya hukom ngon adat lage zat ngon sifeut. Maksudnya adat dengan hukum adalah seperti zat dengan sifat, menjadi satu dan tidak boleh dipisahkan. Sehingga antara pemegang kekuasaan adat dan politik (Sultan Imam Malikul Adil) dengan pemegang kekuasaan hukum (Qadli Malikul Adil) haruslah bekerjasama.

Hadih maja di atas menjadi sebuah filsafat hidup rakyat Aceh yang harus dijalankan secara menyeluruh. Adanya pembagian kekuasaan yang merata dan sumber pegangan masyarakat telah menjadikan hadih maja ini sakral bagi masyarakat. Pengertian hadih maja ini sebagai falsafah hidup rakyat Aceh berarti:

1.   Segala cabang kehidupan negara dan rakyat haruslah berjiwa dan bersendi Islam

2.  Wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh masyarakat dan negara Aceh telah menjadi satu

3.  Sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas Islam menjadi landasan berpijak bagi rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam

Kemudian maksud hukom dalam hadih maja tersebut yaitu hukum Islam, karena Undang-undang Dasar Aceh yang bernama Qanun Adat Meukuta Alam menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam adalah Hukum Islam dengan sumber hukumnya Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Nyatalah bahwa hadih maja tersebut adalah falsafah kehidupan rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan Hidup (way of life) dari rakyat Aceh.

Berpegang pada prinsip di atas, maka kerajaan juga membuat kategori adat itu pada tiga hal, yaitu :

1.     ‘Adatulllah, yaitu hukum dari Allah

2.    Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun oleh majelis kerajaaan. Contoh adat ini seperti adat blang, adat laot, adat gle, adat peukan, adat kuala, adat seuneubok, dan sebagainya.

3.    Adat tunaih, adat ini berlaku di masing-masing daerah. Biasanya disusun secara musyawarah oleh Panglima Sagoe, Uleebalang, dan utusan masyarakat untuk menunjang hukum dan adat raja (adat mahkamah).

          Selain tiga jenis adat di atas, ada beberapa ketentuan hukum dan adat yang tidak dapat diberikan keputusan oleh majelis ulama dan uleebalang, masyarakat boleh meminta ketetapan hukum dan adat pada Pengadilan Tinggi Syaikhul Islam dan Majelis Tinggi yang diketuai oleh Sri Baginda sendiri dan ditempatkan di Balai Baiturrahman.

Lancarnya kehidupan adat di Aceh didukung oleh kepemimpinan Sultan yang adil bijaksana, rakyat Aceh senantiasa hidup tenteram, damai, dan makmur sejahtera. Hampir jarang didengar adanya kesenjangan sosial sesama masyarakat. Rakyat mematuhi pimpinannya, karena mereka bekerja untuk kepentingan umum dan berlaku adil sesuai ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh. Kuatnya posisi hukum dan adat telah menjadi contoh bangsa lain untuk berguru pada Kerajaan Aceh Darussalam. Malah beberapa bangsa Melayu mencontoh bentuk ini untuk diterapkan kepada masyarakatnya, seperti Brunei, Pattani, dan Malaya.

Awal munculnya implementasi hukum adat di Aceh berdasarkan rancangan yang dibentuk oleh pemerintah dengan mempertimbangkan faktor kondisi psikologis orang Aceh. Ketetapan hukum adat ini seharusnya berlangsung hingga pemerintah berikutnya berkuasa. Namun tidak halnya yang terjadi pada pemerintahan daerah sekarang, yang seakan-akan menafikan hukum adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar