Pages

Rabu, 27 Februari 2013

Tahap-Tahap Perjanjian Internasional


Tahap-tahap Perjanjian Internasional

 

                        Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama tertentu serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu (negara atau organisasi). Dalam hukum internasional, tahapan pembuatan hukum internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (Perjanjian) Internasional. Konvensi tersebut mengatur tahap-tahap pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara) mau pun multilateral (banyak negara). Tahap-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
a. perundingan (negotiation),
b. penandatanganan (signature),
c. pengesahan (ratification).
               Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap pembuatan perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu mulai dari perundingan antarnegara yang berkepentingan, penandatanganan MOU, agreement, atau pun treaty yang mengikat negara-negara yang membuat perjanjian, mensahkan perjanjian tersebut melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen.
Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyebutkan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu :

 

a.    Perundingan (Negotiation)

                        Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.

 

b.    Penandatanganan (Signature)
                  Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian.

c. Pengesahan (Ratification)
                  Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

                   Ratifikasi perjanjian Internasional dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Ratifikasi oleh badan eksekutif. Biasa digunakan oleh raja absolute dan pemerintahan otoriter.

b.Ratifikasi oleh badan legislatif sistem ini jarang digunakan. Sistem ini pernah di Turki pada 1924, Elsavador pada 1950, dan Honduras pada 1936.

c. Ratifikasi campuran (DPR dan Pemerintahan) sistem ini paling banyak digunakan karna pengaruh legislatif dan eksekutif sama-sama menentukan dalam proses ratifikasi suatu perjanjian.

*    Persyaratan Perjanjian Internasional.

              Unsur-unsur yang penting dalam persyaratan adalah :

1. Harus dinyatakan secara formal atau resmi.

2. Bermaksud untuk membatasi, meniadakan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu.

 

*    Berlakunya Perjanjian Internasional.

1.Mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara perunding.

2.Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah persetujuan diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding.

3.Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain.

4.Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan suatu negara untuk diikat suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi penyimpangan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu datur sebelum berlakunya perjanjian itu, berlakunya sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.

 

*    Pelaksanaan Perjanjian Internasional.

1.Perjanjian yang harus dipatuhi (Pacta Sunt Servanda)

         Prinsip ini sudah merupaan kebiasaan karena merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa perjanjian internasional memiliki kekuatan mengikat.

2.Kesadaran Hukum Nasional

         Suatu negara akan menyetujui ketentuan perjanjian internasional yang sesuai dengan hukum nasionalnya.

 

 

*    Penerapan Perjanjian.

1.Daya Berlaku Surut

   Biasanya suatu perjanjian dianggap mulai mengikat setelah diratifikasi oleh peserta, kecuali bila ditentukan dalam perjanjian dalam perjanjian bahwa penerapapn perjanjian sudah di mulai sebelum diratifikasi.

2.Wilayah Penerapan (Teritorial Scope)

Suatu perjanjian mengikat di wilayah negara peserta, kecuali bila ditentukan lain. Misalnya, perjanjian itu hanya berlaku pada bagian tertentu dari wilayah suatu negara seperti perjanjian perbatasan.

3.Perjanjian Penyusul (Successive Treaty)

Pada dasar nya, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perjanjian serupa yang mendahuluinya. Namun, bila perjanjian yang mendahului tidak sesuai lagi maka di buatlah perjanjian.

 

*    Penafsiran Ketentuan Perjanjian

1.Metode dari aliran yang berpegang pada kehendak penyusun perjanjian dengan memanfaatkan pekerjaan persiapan.

2.Metode dari aliran yang berpegang pada naskah perjanjian, dengan penafsiran menurut arti yang umum dari kosa kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar